Jakarta, 9 November 2022. LPESM Riau dan Koalisi LSM untuk Masyarakat[1] menyelenggarakan sebuah kegiatan dalam bentuk diskusi sekaligus peluncuran Buku ‘Kontestasi Ruang Hidup’. Diskusinya sendiri mengambil tema Menakar Komitmen Ruang Kelola Rakyat dalam Tata Kelola Hutan Indonesia, antara Mimpi dan Realita? Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid.
Buku terbitan Insist Press ini merupakan kompilasi dari 2 laporan hasil assessment konflik HTI terkait 2 perusahaan besar dunia yang memproduksi bubur kertas dan kertas, yaitu APP/Sinar Mas Grup dan APRIL/RGE, dan ditambahkan dengan studi kasus dari 4 wilayah di Sumatera, yaitu kasus Beringin Koto Pait, dan Bagan Melibur dari Riau, konflik masyarakat adat Op. Bolus Simanjuntak di Tano Batak (Sumatera Utara), dan konflik desa Lubuk Mandarsah (Jambi).
Dalam sambutannya, Woro Supartinah (Direktur LPESM Riau) menyampaikan bahwa tujuan buku ini dibuat adalah sebagai salah satu upaya untuk mendokumentasikan tidak hanya kejadian kasus konflik termasuk kronologisnya, namun juga upaya-upaya yang telah dilakukan terkait konflik yang terjadi, dan solusi-solusi yang memungkinkan dapat ditempuh agar menjadi pembelajaran bagi kasus-kasus yang menyerupai dan atau yang mungkin akan terjadi.
Diskusi membedah isu konflik dan kelola masyarakat ini menghadirkan pembicara dari Kantor Staf Presiden (KSP) RI yang diwakili oleh Bpk. Usep Setiawan (Deputi 2), Ir Muhammad Said (Direktur PKTHA, KLHK RI), dan Bpk. Yando Zakaria (Peneliti PUSTAKA), dan dimoderasi oleh Sdr Rudiansyah dari YMKL. Selain itu, Ibu Hj. Azlaini Agus, SH. MH juga di awal diskusi menyampaikan tanggapan dan pengantar atas peluncuran buku Kontestasi Ruang Hidup. Dalam penyampaiannya, Ibu Hj Azlaini Agus menyebut bahwa masih adanya konflik merupakan sebuah tanda bahwa Negara masih abai dalam pemenuhan hak hidup rakyatnya. Perizinan yang diberikan kepada perusahaan seringkali direkomendasikan oleh pejabat berwenang baik di daerah maupun pusat dengan asumsi “Ruang Kosong”; bahwa tidak ada masyarakat ataupun kebun masyarakat di area yang akan diberikan izin kepada perusahaan HTI. Dan salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah ‘enclaving’ jika memang didapati ada kebun dan kediaman masyarakat di wilayah yang akan dibebankan izin tersebut.
Kedua narasumber baik dari KSP dan KLHK menyambut baik terbitnya buku ini dengan menyarankan kepada media untuk membuat resensi buku ini dalam publikasinya, dan mengutip beberapa informasi yang ada dalam buku sebagai bagian dari materi pemaparannya. Secara online Bpk Yando Zakaria, peneliti PUSTAKA menyebutkan bahwa konflik yang terjadi menggambarkan perebutan yang tidak berimbang; antara kebertahanan hidup melawan penumpukan keuntungan.
Delima Silalahi dari KSPPM sebagai salah satu penulis menyampaikan harapannya, agar tulisan dan buku ini menjadi penyambung suara masyarakat kepada pembuat keputusan, dan sebagai tambahan stok bahan literasi terkait masyarakat adat. Sementara Isnadi menyebut sebagai bagian dari masyarakat yang menyaksikan dan mengalami sendiri konflik dengan perusahaan HTI merasa ada kebutuhan untuk menuliskan konflik sebut sebagai tapak sejarah untuk mendorong penyelesaian konflik yang betul-betul sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat.
Maikel Peuki, salah satu peserta dari Papua menambahkan perlunya perluasan cakupan baik itu asesmen maupun studi kasus di wilayah selain Sumatera dan Kalimantan, karena adanya kecenderungan ekspansi industri HTI tersebut ke bagian Timur Indonesia.
[1] Koalisi LSM untuk Masyarakat ini terdiri atas 12 LSM yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan yang memiliki fokus dan berkegiatan dalam mendampingi masyarakat berkonflik dengan perusahaan HTI.