Email lpesmisec@gmail.com
Telepon +62 761 8659080
Whatsapp +62 8226846470

Lolosnya Mosi 37 versus Mosi 45, Sebuah Solusi Menang-Menang sekaligus Pertaruhan

Nusa Dua, Bali bulan Oktober lalu menjadi tempat diloloskannya 2 buah mosi penting[1] oleh sebuah lembaga sertifikasi internasional Forest  Stewardship Council atau yang lebih dikenal sebagai FSC. Mosi penting tersebut adalah yang dikenal dengan mosi 37 dan mosi 45 yang cukup menghangat dibahas dalam Rapat Umum FSC yang berakhir pada tanggal 14 Oktober lalu. Mosi 37 dan Mosi 45 ini merupakan 2 diantara 48 mosi yang dibahas pada Rapat Umum FSC tersebut. Mengapa 2 mosi ini penting untuk masa depan pengelolaan hutan Indonesia?

Sejak didirikannya pada tahun 1994, FSC  dianggap sebagai upaya lain untuk menghentikan deforestasi dunia setelah Konvensi Rio di Brazil  di tahun 1992 dianggap gagal. Sebagai mekanisme sukarela, FSC masih menjadi skema sertifikasi yang menyeluruh dan memiliki standar dan prinsip yang cukup tinggi dibandingkan skema sertifikasi lainnya[2]. Namun, dengan deforestasi yang masih terus terjadi, dan di tengah komitmen nol deforestasi perusahaan yang dianggap masih lemah implementasinya, sertifikasi FSC masih dianggap sebagai market-based tool yang berguna untuk mendorong perubahan pengelolaan hutan yang lebih bertanggung jawab. Benarkah demikian? Penulis akan mencoba  menganalisis kelayakan FSC sebagai tolak ukur perbaikan pengelolaan hutan dan sosial, dari  konten dan konsideran pendukung kedua mosi tersebut.

Mosi 37 berbicara mengenai perubahan yang diperlukan pada Prinsip dan Kriteria FSC dalam Menerapkan Kebijkan untuk Mengatasi Konversi. Salah satu isu penting dari isi mosi 37 adalah  terkait tenggat waktu diperbolehkannya deforestasi dalam tinggkat tertentu sejak 1994 hingga 31 Desember 2020. Jika sebelumnya FSC tidak menerima masuknya perusahaan yang terlibat deforestasi sejak tahun 1994, usulan perubahan mosi ini memberi peluang bagi perusahaan yang terlibat deforestasi di tahun 1994  hingga 2020 untuk bisa masuk dan bergabung dengan FSC dengan melakukan perbaikan pada tingkat tertentu. Hal ini tentu saja menjadi kabar gembira untuk perusahaan-perusahaan HTI terutama  diIndonesia, yang sebelumnya diputus dari rantai sertifikasi FSC, dan mencoba melalui beberapa cara untuk mulai masuk dan bergabung di FSC.

Beberapa perusahaan tersebut diantaranya APP dan APRIL yang telah ditarik sertifikasinya sebagai akibat  laporan/komplain dari kelompok masyarakat sipil. APRIL dilarang menggunakan stempel FSC setelah komplain resmi dari beberapa NGO yaitu WWF, Greenpeace, dan RAN (rainforest Action Network) pada tahun 2013[3]. Sementara produsen kertas dan bubur kertas terbesar dunia lainnya yaitu APP juga telah lebih dahulu dilarang menggunakan logo FSC dalam setiap produknya sejak  Oktober 2007 berdasarkan informasi yang terbukti kebenarannya bahwa APP terlibat dalam praktek kehutanan yang bertentangan dengan prinsip dan misi FSC[4]. Dan di tahun 2017,  FSC Board of  Director menyetujui secara bersyarat peta jalan mengakhiri asosiasi dengan APP. Artinya, jika peta jalan yang ada disetujui dan dapat dipenuhi maka APP dapat kembali bergabung dengan skema FSC pada pertemuan FSC Board ke 74 di Yogyakarta pada 2016[5]. Sayangnya, pada akhirnya APP harus menelan pil pahit karena FSC kemudian menunda proses untuk mulainya reasosiasi disebabkan karena APP dianggap masih melakukan tindakan yang tidak dapat diterima sesuai prinsip FSC diantaranya karena dugaan keberadaan 20 perusahaan cangkang (offshore company) di negara surga pajak yang memiliki hubungan dengan APP Sinar Mas, dan APP diduga membeli kayu dari perusahaan yang menebang hutan alam[6]. Sementara upaya reasosiasi APRIL dengan FSC sendiri tidak lebih maju dibandingkan dengan APP. Upaya memulai proses membuka reasosiasi dengan dilakukannya baseline analisis terhadap grup APRIL juga menerima keberatan dari sebagian besar masyarakat sipil yang fokus pada isu hutan dan masyarakat lokal. Proses baseline ini dianggap minim konsultasi publik. 

Di lain sisi, FSC sendiri mulai mempertimbangkan penyesuaian tenggat waktu tahun 1994 yang dianggap tidak lagi relevan untuk konteks industri kehutanan Indonesia.  Ditambah, Pemerintah Indonesia sendiri melalui KLHK meminta FSC mengevaluasi  syarat aturan bergabung bagi pelaku indutri kehutanan yang terlibat konversi hutan alam sejak tahun 1994, untuk disesuaikan dengan konteks Indonesia agar ada kemudahan pelaku indutri kehutanan Indonesia bergabung dengan sertifikasi FSC[7]. Hingga tidak mengherankan jika dukungan perubahan ini banyak didukung oleh kamar ekonomi. Menariknya, mosi 37  diusulkan oleh kamar lingkungan, dan mendapatkan persetujuan dari kamar sosial, dan ekonomi. Alasan yang mengemuka untuk diterimanya mosi 37 adalah untuk dapat mendorong perubahan menggunakan sertifikasi FSC, maka pelaku industri tersebut harus terlebih dahulu diberi peluang untuk bergabung. Sementara APHI, KADIN Indonesia, dan FKPMI menunjukkan dukungannya kepada mosi 37 dengan alasan untuk mendongkrak penetrasi FSC di Indonesia. Asumsi pendukung, mosi 37 juga mengharuskan remediasi yang pada akhirnya akan meningkatkan area yang dikonservasi dan direstorasi. Dari kamar lingkungan, dukungan terhadap mosi 37 ini salah satunya didengungkan oleh WWF, yang menganggap bahwa mosi 37 dapat mengejar ketertinggalan dari target 2030 untuk zero deforestasi yang digadang-gadang banyak pihak. Terlepas dari semua alasan tersebut, pada akhirnya hasil perhitungan suara menunjukkan keberpihakan kepada semua alasan dan konsideran yang disampaikan pendukung mosi 37 tersebut. Lolosnya Mosi 37 karena memperoleh dukungan  lebih dari 70% dari 3 kamar baik itu ekonomi, lingkungan, maupun sosial.

Sementara itu, Mosi 45 berbicara mengenai peningkatan dan penyempurnaan paket konversi dan Remediasi untuk melindungi kredibilitas FSC. Pada intinya mosi ini mensyaratkan kerangka pemulihan sosial dan lingkungan yang rigid dan kuat sebelum diterapkannya Kebijakan untuk Asosiasi FSC. Mosi 45 ini diajukan oleh kamar ekonomi dan disetujui oleh kamar sosial, juga kamar lingkungan. Salah satu pendukung mosi ini adalah organisasi kampanye RAN, yang dalam ajakannya meminta dukungan terhadap mosi 45 agar ada kerangka pemulihan yang kuat dan menyeluruh mengingat masih banyaknya persoalan sosial dan lingkungan yang belum terselesaikan.

Pertarungan dukungan untuk kedua mosi ini cenderung menghangat, karena sejak awal sesi tambahan dari Rapat Umum telah ada ajakan untuk mendukung mosi 37. Sementara ajakan untuk mendukung mosi 45 mulai terbuka ketika perwakilan masyarakat adat dari Indonesia menyampaikan pandangan dan dukungannya terhadap mosi 45. Alasan dan pertimbangan dukungan terhadap mosi 45 lebih kepada fakta masih banyaknya persoalan sosial dan lingkungan yang belum dapat diselesaikan secara baik dan sesuai dengan pemulihan kerusakan. Kekhawatiran pendukung mosi 45, jika mosi 37 lolos, dan mosi 45 tidak lolos artinya kemudahan telah diberikan kepada pelaku industri kehutanan yang berpotensi masih melakukan kerusakan, tanpa adanya perbaikan dan pemulihan yang berarti atas kerusakan sosial dan lingkungan yang masih ada hingga saat ini.  Kondisi lain yang cukup kritis bagi pendukung mosi 45 adalah karena voting untuk mosi 37 dilakukan sebelum voting untuk mosi 45. Jika mosi 37 lolos, kemudian mosi 45 gagal, alamat persoalan lingkungan dan sosial di tingkat tapak dapat menjadi lebih buruk. Hingga akhirnya, dari hasil perhitungan suara, mosi 45 diterima dan didukung oleh lebih dari 70% dari kamar sosial dan lingkungan, dan dukungan terendah dari kamar ekonomi yang memberikan suaranya 54%.

Pada akhirnya perhelatan akbar itu telah selesai, dengan kemenangan dari pendukung kedua mosi. Namun, tentu saja ini baru sebuah permulaan, dan terlalu awal untuk dirayakan, karena pekerjaan rumah untuk perbaikan kerusakan hutan dan sosial di Indonesia bahkan dunia, masih amat panjang. Pelaku industri kehutanan masih perlu membuktikan apakah mosi lolosnya 37 hanya dijadikan ajang melanjutkan tradisi untuk brain washing, ataukah sejatinya merubah perilaku bisnis menjadi lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Terlebih bagi FSC, ini menjadi momen pertaruhan jika FSC masih kredibel dan layak dipercaya sebagai pelindung hutan dan masyarakat adat.

Sebuah Catatan Pengamatan dari Rapat Umum FSC di Nusa Dua, Bali 9 -14 Oktober 2022

 

 

[1] Usulan perubahan terhadap topik tertentu dalam sistem FSC

[2] https://www.mdpi.com/1999-4907/11/8/863

[3] https://www.mongabay.co.id/2013/08/14/april-resmi-dilarang-gunakan-label-fsc/

[4] https://www.eyesontheforest.or.id/news/lsm-rilis-kriteria-dan-indikator-guna-menilai-kinerja-app-april

[5] http://agroindonesia.co.id/fsc-rujuk-dengan-app/

[6] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180820133000-92-323593/gara-gara-perusahaan-surga-pajak-fsc-dan-app-belum-rujuk

[7] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170208105643-92-192014/permudah-sertifikasi-pemerintah-minta-fsc-evaluasi-aturan

Share and Enjoy !

Shares