Email lpesmisec@gmail.com
Telepon +62 761 8659080
Whatsapp +62 8226846470

Benarkah BRG Sudah Tidak Diperlukan Lagi?

Benarkah BRG Sudah Tidak Diperlukan Lagi?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

LIPUTAN KHUSUS

Minggu, 19 Juli 2020

Editor : Y. Y. Akhmadi

 

BETAHITA.ID –  Badan Restorasi Gambut (BRG) disebut-sebut masuk dalam sejumlah lembaga negara yang akan dihapuskan atau dibubarkan dalam upaya perampingan demi mengurangi beban anggaran negara di tengah pandemi Covid-19. Namun sejumlah kalangan beranggapan BRG masih sangat dibutuhkan untuk pemulihan gambut, dan justru perlu diperkuat, termasuk kewenangannya.

Ihwal rencana pembubaran BRG sebelumnya diungkapkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, yang menyebut Badan Restorasi Gambut termasuk dalam daftar 18 lembaga dipertimbangkan untuk dibubarkan. 

“Untuk BRG kan sementara ini perannya cukup bagus dalam menangani restorasi gambut. Tapi nanti juga akan dilihat, apakah cukup ditangani BNPB saja atau bagaimana,” ujar Moeldoko, Selasa, 14 Juli 2020.

Kepala BRG, Nazir Foead mengatakan, terkait keberlanjutan kerja BRG, pihaknya hanya menunggu keputusan Presiden Joko Widodo. Namun Nazir Foead mengatakan, kerja BRG dengan pemerintah daerah dan puluhan ribu warga di tingkat tapak, sangat penting untuk terus dilanjutkan.

Kanal di lahan gambut diselimuti kabut asap dari kebakaran hutan di dalam konsesi milik PT Wirakarya Sakti (WKS) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Foto diambil pada tanggal 21 September 2019./Foto: Muhammad Adimaja/greenpeace

“Agar upaya restorasi gambut secara jangka panjang bisa memberikan hasil maksimal, baik utk petani dan kelestarian ekosistem gambut. Tentang kelanjutan kerja BRG, tentu kita menunggu arahan Presiden,” kata Nazir Foead, Kamis (16/7/2020).

Mengenai tumpang tindih kewenangan dan tanggung jawab pekerjaan dengan kementerian, Nazir Foead menjelaskan, kewenangan BRG sudah diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016, serta arahan koordinasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Fokus utama BRG saat ini adalah terus melaksanakan tugas restorasi ekosistem gambut sebagaimana dimandatkan oleh Presiden Joko Widodo, serta meningkatkan pembasahan ekosistem gambut dan memonitor tinggi muka air di lahan gambut untuk meminimalisir terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Nazir Foead menegaskan, BRG sementara ini lebih berkonsentrasi pada restorasi gambut di lahan non-konsesi seperti di lahan masyarakat, di kawasan hutan non-konsesi, kawasan hutan lindung dan konservasi.

“Sampai saat ini, BRG telah berhasil melakukan restorasi seluas 778.181 hektare atau 89 persen dari total luasan target restorasi BRG di 7 provinsi di luar area konsesi seluas 892.241 hektare. Kita akan tuntaskan 100 persen di 2020 ini.”

Infografis Tugas dan Fungsi BRG (brg.go.id)

Selain itu BRG juga membantu merestorasi lahan gambut di areal hak guna usaha (HGU) konsesi perkebunan, melalui metodologi asistensi atau supervisi teknis. Dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) telah menjalin kerjasama dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) dan BRG. Hingga saat ini dari target 555.659,23 hektare supervisi BRG di lahan HGU konsesi perkebunan, 440 ribu hektare atau 79,6 persen di antaranya telah tercapai.

“Kami memiliki MoU dengan Kementan untuk pendamping pembinaan teknis ke perkebunan sawit. Untuk luas perkebunan (yang telah dilakukan supervisi) sekarang sudah mencapai 440 ribu hektare atau 79,6 persen.”

Sementara, untuk restorasi lahan gambut di areal konsesi kehutanan, seperti konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dan konsesi hutan tanaman industri (HTI). Nazir Foead mengatakan, hal tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh KLHK.

Namun, BRG ikut menjadi bagian dalam program pemulihan gambut yang dikerjakan KLHK. Melalui kerjasama dengan direktorat jenderal di KLHK yang dijalankan atas arahan Menteri LHK. Sejauh ini BRG telah membantu KLHK melakukan supervisi di konsesi kehutanan seluas 114 ribu hektare.

“Untuk yang konsesi kehutanan, sepenuhnya di bawah KLHK. Angka 114 ribu di konsesi kehutanan itu, adalah ketika kita melakukan ujicoba metodologi asistensi atau supervisi teknis. Kami sementara ini berkonsentrasi di lahan non-konsesi, dan juga di lahan HGU perkebunan. KLHK adalah leading agency di konsesi kehutanan. Karena ada MoU dengan Kementan, kita juga membantu ke area perusahaan perkebunan. Jadi tidak ada tumpang tindih ya, sudah dibagi-bagi cakupan tugasnya,” terang Nazir Foead.

Nazir Foead menegaskan, pekerjaan restorasi gambut tak mudah dilakukan, tak bisa tuntas dalam satu atau dua tahun. Butuh bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk memulihkan gambut yang rusak. Kegiatan restorasi atau pemulihannya perlu terus dilakukan dilakukan pendampingan. Bahkan untuk area yang sudah dimasuki atau dikerjakan tahun-tahun sebelumnya.

“Maksudnya, tidak dalam artian, dikerjakan tahun ini, tahun depan gambutnya sudah pulih kembali, sudah sehat wal afiat. Namun sudah on the right track di area yang kita sebutkan di atas sudah diintervensi.”

Pemerhati Lingkungan Dukung BRG

Terpisah, pemerhati lingkungan yang juga Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM), Woro Supartinah berpendapat, saat ini keberadaan BRG masih dibutuhkan. Setidaknya hingga satu dekade ke depan. Alih-alih dibubarkan menurutnya BRG justru harus lebih diperkuat dan diberi kewenangan lebih lagi.

Kemudian penyelamatan gambut, menurut Woro, seharusnya menjadi isu besar yang memayungi seluruh sektor terkait sumber daya alam, terutama di kawasan gambut. Bukan malah jadi sisipan aktivitas minor di kementerian.

“Karena agenda penyelamatan gambut merupakan agenda penting tidak hanya bicara soal kebakaran, tapi juga melindungi iklim global. Dan kerja penyelamatan gambut bukan pekerjaan yang bisa diukur dalam waktu singkat,” kata Woro Supartinah, Kamis (16/7/2020).

Terkait fungsi BRG yang disebut-sebut bertabrakan atau tumpang tindih dengan lembaga lain, salah satunya Badan Nasional Penanggulanangan Bencana (BNPB), terkait kebakaran. Woro mengaku tidak terlalu sepakat bila kebakaran gambut diklasifikasikan dengan bencana yang biasanya lebih dikaitkan dengan kondisi alam, tanpa campur tangan manusia.

Kebakaran gambut, menurutnya, merupakan gambaran pengelolaan lahan gambut yang dulu salah dan kebablasan. Sementara pendekatan penanggulangan bencana kebakaran yang biasa dilakukan sifatnya insidentil, dan pencegahannya bersifat penyiapan.

“Yang dulu izinnya diberikan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Di samping itu penyelamatan gambut memerlukan strategi yang komprehensif dari hulu ke hilir. Lagian. BNPB biasanya untuk kebakaran yg dilakukan penanggulangan yg biasanya pemadaman. Pendekatan penyelamatan ekosistem itu berbeda jika dilakukan dengan pendekatan insidentil.”

Agenda pemulihan gambut dengan pendekatan 3 R (Rewetting, Revegetation dan Revitalization) di desa-desa, menurutnya sangat banyak membantu masyarakat. Namun pemulihan gambut di wilayah perizinan swasta, seperti HTI dan perkebunan sawit, mestinya juga perlu digegas atau dipercepat, karena kawasan yang dikelola swasta cukup besar dan signifikan untuk pemulihan ekosistem gambut.

Hal senada disampaikan Aidil Fitri, Direktur Eksekutif Hutan Kita Institue, Aidil mengatakan, keberadaan BRG masih diperlukan. Namun hanya fokus ke pencegahan kerusakan gambut dan pemulihan gambut yang masuk kategori lindung. Kemudian memantau wilayah-wilayah tersebut, dan penguatan ekonomi masyarakat yang tergantung dan tinggal di sekitar gambut.

“3 komponen itu menjadi kegiatan yang terintegrasi. Menurut saya seharusnya sih enggak (dibatasi kewenangannya di konsesi kehutanan). Tapi batasanya lindung dan budidaya saja. Jadi walau di luar kawasan hutan kalau masuk kategori lindung gambut, maka menjadi wilayah kerja BRG. Karena kalau hanya kawasan hutan. Seolah-olah BRG itu subordinat dari KLHK,” kata Aidil, Kamis (16/7/2020).

Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Okto Yugo juga menilai, tidak tepat meleburkan atau menyerahkan pekerjaan tugas BRG kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Karena kerja restorasi gambut butuh badan khusus yang fokus. Bukan saja mencegah karhutla, jauh dari itu memperbaiki tata kelola gambut yang telah rusak dan tercemar termasuk mengembalikan ekonomi masyarakat paludikultur.

“Jika dilebur ke BNPB, kerjanya kelak tidak akan fokus. Sebab bila terjadi bencana, restorasi gambut tidak lagi menjadi prioritas. Memperbaiki gambut butuh setiap hari dilakukan dan menjadi prioritas, dan itu perlu badan khusus yang punya satu kewenangan saja, yaitu merestorasi gambut,” kata Okto Yugo dalam siaran pers Jikalahari, Kamis (16/7/2020).

Selain membasahi kembali lahan gambut dan penanaman pada gambut rusak, lanjut Okto, BRG juga melakukan pemulihan ekonomi masyarakat dalam mengelolah gambut secara berkelanjutan. Temuan Jikalahari di areal non korporasi, di desa-desa bergambut yang masuk dalam Program Desa Peduli gambut (DPG), menunjukkan BRG mengedukasi pengelolaan lahan gambut tanpa bakar, dan yang paling penting membumikan paludikultur.

“Paludikultur intinya mengajak masyarakat kembali menanam tanaman bernilai ekonomi yang ramah terhadap gambut dan tidak monokultur.”

Seperti dijelaskan sebelumnya, salah satu peran tugas BRG dalam restorasi lahan gambut adalah meningkatkan pembasahan ekosistem gambut dan memonitor tinggi muka air di lahan gambut untuk meminimalisir terjadinya karhutla. Tugas fungsi BRG terkait pencegahan kebakaran di lahan gambut inilah yang mungkin dianggap bertabrakan dengan lembaga lain, yakni BNPB.

Namun BNPB belum memberi tanggapan kemungkinan adanya peralihan tugas BRG berkaitan dengan fungsinya menyangkut pencegahan kebakaran di lahan gambut kepada BNPB, apabila BRG dibubarkan.

“Maaf mas belum ada (tanggapan atau komentar), thanks,” kata Aditya Jati, Kapusdatidkom BNPB, Jumat (17/7/2020) kemarin.

Sementara Humas BNPB, Rita Simatupang mengatakan, bukan kewenangan BNPB menanggapi wacana tersebut. “Maaf. Mungkin ini bukan ranah kami untuk menjawab,” kata Rita.

BRG merupakan lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2016, ditetapkan pada 6 Januari 2016. Masa tugas BRG, berdasarkan Perpres itu ditetapkan selama 5 tahun dan akan berakhir pada 31 Desember 2020.

BRG dibentuk untuk percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat karhutla secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. BRG bertugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di 7 provinsi. Yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

Lahan gambut di Indonesia sendiri memiliki luas mencapai 24.667.804 hektare atau dua kali luas Pulau Jawa. Tiga pulau dengan gambut terluas yakni Sumatera seluas 6,4 juta hektare, Kalimantan 4,7 juta hektare dan Papua 3,6 juta hektare.

Dari luasan lahan gambut tersebut, sekitar 2 juta hektare di antaranya akan dilakukan restorasi di 7 provinsi prioritas wilayah kerja BRG, dalam rentang waktu 2016 hingga 2020. Namun sesuai dengan perubahan peta indikatif restorasi gambut yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala BRG Nomor SK.16/BRG/KPTS/2018, luas lahan yang diindikasikan untuk direstorasi menjadi sekitar 2,67 juta hektare.

Dalam Laporan Kinerja Restorasi Gambut Tahun 2019 disebutkan, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi BRG dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Yakni kendala regulasi, regulasi mengenai pengelolaan gambut baru diterbitkan pada 2014. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 juncto PP Nomor 57 Tahun 2016, dan turunannya PermenLHK Nomor 14,15,16 dan 17 Tahun 2017. Beberapa peraturan yang ada ini digugat oleh publik, sehingga pelaksana belum memiliki pegangan aturan pelaksana yang lengkap dan permanen.

Kendala lain, data mengenai gambut masih indikatif sehingga intervensi yang dilakukan belum akurat. Data kedalaman gambut sebagai dasar penetapan fungsi, penyusunan, perencanaan dan pemanfaatan belum diketahui secara pasti. Demikian juga dengan data pendukung lainnya seperti kontur, biofisik dan lain-lain.

Infografis Startegi Restorasi Gambut (brg.go.id)

Kemudian, konsep pengelolaan gambut berbasis kesatuan hidrologi gambut (KHG) juga belum dapat diaplikasikan. Regulasi dan data yang belum komplit menyebabkan konsep pengelolaan gambut berbasis KHG melalui sharing water belum bisa diaplikasikan. Konsep ini mengharuskan semua pihak yang berada dan memanfaatkan lahan dan air di dalam KHG untuk bersama-sama melakukan upaya pengaturan tata air.

Selanjutnya, peran pemerintah daerah belum optimal. Pelaksanaan restorasi gambut menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan urusan yang bersifat konkuren, akan tetapi karena tidak eksplisit tercantum sehingga banyak pemerintah daerah yang tidak merasa bertangggung jawab atas pemulihan terhadap kerusakan ekosistem gambut.

Selain itu, pada prinsipnya, restorasi adalah mengelola keterlanjuran. Banyak aspek sosial dan ekonomi yang menyangkut sumber penghidupan dan harus dipertimbangkan. Dalam pelaksanaannya harus ada trade-off dengan masyarakat dan pemilik izin karena semuanya legal sebelum regulasi disusun.

Disebutkan pula dalam laporan tersebut, mengingat anggaran APBN yang diberikan pada BRG memiliki keterbatasan, maka strategi dalam pencapaian target tersebut dapat dipenuhi melalui koordinasi dengan para pihak. Pemilik lahan konsesi, berdasarkan data BRG mengokupasi hampir 1,7 juta hektare lahan gambut, harus didorong untuk berperan aktif dalam merestorasi lahan gambut di wilayah konsesinya.

Share and Enjoy !

Shares