Sawit, saat ini masih menjadi komoditas primadona, meskipun masih sarat dengan persoalan belum ‘sustainablenya” praktek pengolahan di lahan gambut, termasuk juga persoalan ilegalitas. Umumnya, praktek pengolahan kelapa sawit di kebun masyarakat terutama yang masuk dalam skema plasma dengan perusahaan masih menggunakan pupuk kimia untuk menopang produksi panen sawit. Dari kejamakan praktek pengolahan kebun sawit tersebut, ternyata ada petani yang berani bergeser dari pola mainstream penggunaan pupuk kimia, kea rah penggunaan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan. Salah satu petani itu adalah Pak Sugiono.
Pak Sugiono, seorang pekebun kelapa sawit, usia 70 tahun tinggal di kampung Bukit Harapan, Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak. Di usia tuanya, beliau tetap memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan dan keberlangsungan kehidupan generasi setelahnya. Di tengah gempuran praktek pertanian konvensional yang masih menggunakan bahan kimia, beliau bertekad dan telah mempraktekkan pola pertanian yang lebih ramah lingkungan. Beliau adalah salah satu dari 2 petani yang menggunakan pupuk organik untuk kegiatan di kebunnya. Pupuk organik yang beliau gunakan merupakan hasil produksi sendiri dengan menggunakan bahan-bahan organik dari sisa-sisa tanaman dan sampah di rumahnya.
Kehidupannya di Bumi Lancang Kuning dimulai pada tahun ’90 melalui program transmigrasi. Sebelum berpindah ke Riau, Pak Sugiono tinggal di Jawa Tengah, dan menghidupi keluarganya dengan berjualan pakaian. Hingga saat ini beliau telah sukses mengantarkan kelima anaknya menjadi Sarjana (S1) bahkan salah satu anaknya sedang melanjutkan Pendidikan di jenjang S2. Keberhasilan Pak Sugiono membesarkan dan mendidik anaknya tidak terlepas dari kegiatannya berkebun kelapa sawit. Namun, beliau berpandangan bahwa kegiatan pertanian/perkebunan 1 komoditas bukanlah pilihan utamanya. Beliau lebih setuju pola pertanian silvikultur dimana jenis dan komoditas tanaman yang ditanam lebih beragam dengan pertimbangan manfaat masing-masing jenis tanaman.
“ Saya mulai membuat pupuk organik ini sudah hampir 10 tahun, sejak tahun 2011. Mulai belajar dari sosial media (Youtube) dibantu oleh anak, kemudian Saya bergabung dengan 4 orang kawan yang juga satu pemahaman dengan saya. Sayangnya, tahun 2014 keempat kawannya keluar karena kesulitan mendapatkan bahan baku untuk membuat pupuk organik. Sampai sekarang, akhirnya Saya masih melanjutkan membuat pupuk organik itu”.
Beberapa kendala yang masih dirasakannya saat ini adalah kesulitan dalam mencari bahan baku, dan peralatan yang belum memadai sehingga beliau masih menggunakan alat seadanya untuk menggiling bahan. Untuk memotong rumput pun beliau masih menggunakan parang biasa. Bahan-bahan yang digunakan Pak Sugiono untuk membuat pupuk organik adalah rumput, daun/pelepah sawit, kotoran ayam dari hasil ternak ayamnya sendiri, sampah dari tumbuhan dan EM4. Produksi pupuk organik yang dibuat Pak Sugiono adalah 140 goni (ukuran 10 kg) yang dikerjakan dalam jangka waktu 3 bulan. Selain digunakan untuk kebun sawitnya, pupuk organik yang dihasilkan Pak Sugiono juga beliau manfaatkan untuk tanaman- tanaman lain yang ditanam di pekarangan rumahnya. Sebagian besar yang ditanam adalah cabe rawit, merica, dan rambutan.
(Kebun Cabe Pak Sugiono)
“ Kalau saya perhatikan sebenarnya hasil panen sawit dengan pupuk kimia atau pupuk organik adalah sama. Kelebihan menggunakan pupuk organik adalah kondisi tanah tidak rusak. Saya sangat peduli pada nasib anak cucu Saya di masa depan. Bagaimana kalau Saya mewariskan tanah dengan kondisi yang susah diolah oleh mereka? Bagaimana kalau mereka tidak bisa bertanam di tanah yang Saya tinggalkan untuk mereka? Pupuk kimia itu menurut saya meracuni tanah dan akan sulit bagi tanah untuk ditanami kembali kecuali dengan perlakuan kimia juga. Alhasil, lama-lama tanah akan semakin miskin hara”
Kekhawatiran Pak Sugiono dengan bergantungnya petani/pekebun dengan pupuk kimia adalah menurunnya kualitas tanah sehingga panen yang dihasilkan pada akhirnya akan menurun seiring dengan menurunnya kesuburan tanah. Jika produksi turun, atau kualitasnya kurang baik, penghasilan petani/pekebun juga akan menurun. Harapan Pak Sugiono ke depan adalah memperbanyak petani dan pekebun yang menggunakan pupuk organik untuk kegiatan pertaniannya. “ Saya harap LPESM dapat membantu Saya mewujudkan cita-cita itu”
Kampung Bukit Harapan adalah salah satu kampung yang saat ini sedang didampingi oleh LPESM untuk program pembangunan kampung yang lebih ramah lingkungan, sejalan dengan visi Siak Kabupaten Hijau. Diantara aktivitas yang dilakukan pendampingan dan penguatan masyarakat melalui pelatihan organik.
Ditulis oleh MG